#Hari - 3 : Berubah oleh Hamba yang Menderita

Hari 3: Berubah oleh Hamba yang Menderita.
Kristus menderita bagi kita (1Ptr 2:21)

Hari ini kita dipanggil untuk merenungkan penderitaan Kristus. Mengikuti Kristus Hamba yang Menderita, umat kristiani dipanggil untuk solidaritas dengan semua orang yang menderita. Semakin dekat kita sampai pada salib Kristus semakin dekat kita satu sama lain. Apakah aku rela diubah oleh penderitaan Kristus dan berbelarasa dengan mereka yang menderita?

Menderita artinya mengalami suatu hal yang membuat sakit baik secara fisik maupun batin. Penderitaan fisik misalnya cacat tubuh, luka fisik, kelaparan, atau miskin secara finansial, sedangkan penderitaan batin misalnya dikhianati, kecewa, dikucilkan, dibohongi, kurang perhatiaan, kasih sayang, atau butuh belas kasihan. Setiap orang tentu pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya, hanya persentasenya saja yang berbeda-beda. 

Umat kristiani yang beriman kepada Kristus harus siap menderita ketika memutuskan untuk menjadi muridNya yang setia. Mengapa? Karena Kristus sendiri rela menderita selama Ia menjadi manusia dan bahkan mengorbankan nyawaNya bagi kita. “Seorang murid tidak lebih daripada gurunya, atau seorang hamba daripada tuannya” (Matius 10:24). Artinya, sebagai murid Kristus kita memiliki konsekuensi yaitu harus siap menderita  demi memperjuangkan iman kita. Siap menderita tidak selalu diri kita yang harus mengalaminya, namun kita dapat bersolidaritas dengan cara ikut merasakan penderitaan orang lain. Bagaimana caranya kita dapat turut merasakan penderitaan orang lain? Salah satunya dengan ikut berbaur langsung bersama mereka yang menderita. 


#Sekedar sharing#

Orang menderita yang aku contohkan dalam tulisan ini adalah nenek-nenek di Panti Jompo. Sekitar Juli 2010 yang lalu, lingkunganku mengadakan bakti sosial (baksos) ke Panti Boro. Acara baksos ini diprakarsai oleh mudika sehingga aku & beberapa orang mudika sudah 2-3 kali berkunjung ke sana untuk melakukan survey sebelum hari-H pelaksanaan. Beberapa kali bertatap muka dengan penghuni panti jompo yang khusus perempuan, hmmm…luar biasa. Nenek-nenek di sana senang sekali dikunjungi dan mereka senang sekali bercerita tak kenal waktu. Latar belakang yang membawa mereka ke panti jompo bermacam-macam, ada yang karena memang ingin tinggal di panti jompo supaya tidak sendirian di rumah namun ada juga yang ditelantarkan oleh anaknya. Ada seorang nenek yang bercerita padaku bahwa ketika melihatku beliau teringat pada cucunya, sampai-sampai aku disuruhnya menginap di panti dan tidak boleh pulang ^^ . Beliau bercerita bahwa beliau sendirilah yang ingin tinggal di panti jompo karena beliau tidak betah tinggal di rumah anaknya. Beliau merasa anak & menantunya sering bertengkar gara-gara kehadiran beliau yang sudah tua, pikun, dan selalu merepotkan. Dulu, awal-awal beliau masuk ke panti jompo anak, menantu, & cucunya rutin mengunjunginya 2 minggu sekali. Tetapi lama-kelamaan mereka jarang mengunjungi, “paling pol nggih pas Natalan, kuwi wae yo nek kelingan”, (paling hanya saat Natal, itu saja kalau mereka ingat), tuturnya. Beliau sangat merindukan keluarganya, tetapi beliau tidak ingin dianggap sebagai beban dalam rumah tangga anaknya. Kini beliau mencoba menikmati masa tuanya di panti jompo bersama teman-teman sebayanya dengan cara merajut syal, menyapu halaman, membuat kerajinan, memasak, nonton TV sambil karaoke, dan rajin ikut misa harian di gereja Boro yang terletak di depan panti jompo. Aku menangkap dari sorotan matanya bahwa dari luar beliau memang terlihat bahagia, namun aku merasa bahwa jauh di lubuk hatinya ada suatu kerinduan akan kasih sayang dari keluarganya. Batinnya menderita oleh sikap anaknya yang tidak lagi memperhatikannya. Panti jompo ini telah mampu secara finansial karena dikelola oleh yayasan Katolik dengan kepala panti seorang biarawati. Suster kepala itu berkata, “Sebenarnya yang mereka butuhkan bukanlah barang-barang duniawi, tetapi lebih ke kasih sayang dan perhatian dari sesama terutama pengunjung panti, misalnya setia mendengarkan cerita kisah hidupnya meskipun nada bicara yang sudah tidak begitu jelas ditambah dengan volume suara yang amat lirih….hehe makanya sering-sering main ke sini ya Mbak!”

Aku terharu akan kisah hidup mereka. Semakin berbaur dan mengenal mereka secara pribadi, aku semakin dapat merasakan duka yang mereka rasakan. Aku mendapat pelajaran berharga dari bakti sosial ke panti jompo ini. Sebagai seorang anak, kita harus berbakti pada orang tua, terutama ibu yang telah mengandung, melahirkan, merawat kita hingga dewasa. Perjuangan sebagai orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak tentu tidak mudah. Aku tidak ingin menganut pepatah habis manis sepah dibuang. Hati orang tua pasti akan sakit ketika mengetahui bahwa anak yang selama ini mereka rawat dengan kasih yang begitu besar tiba-tiba memasukkan mereka ke panti jompo saat hari tua. Namun para lansia ini tidak dapat berbuat apa-apa karena di satu sisi mereka tidak ingin menyusahkan anaknya. Bahkan dihari tuapun, mereka masih saja ingin membahagiakan anaknya. Terkadang cara Kristus untuk mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik adalah dengan cara membuat kita ikut merasakan penderitaan orang lain. Penderitaan yang kita dan orang lain alami belum sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh Kristus. Kristus sebagai Hamba yang menderita mengajarkan kita bahwa penderitaan dapat membawa kita lebih mendekat pada kasih sayang Allah. 

Berbaur dengan para penghuni panti jompo mengubah hidupku untuk lebih bersikap hormat dan berbakti pada orangtuaku. Aku harus lebih perhatian dan mencurahkan kasih sayangku kepada mereka yang aku sayang. Aku tidak boleh terlalu banyak marah-marah dan berbohong pada orang tuaku karena pasti hati mereka akan sakit. Tuhan, mampukan aku untuk berbagi cinta, perhatian, dan kasih sayang kepada bapak ibuku kini sampai selamanya. Aku sayang mereka. 

                                         Sebagian Nenek-nenek penghuni Panti Jompo Boro



Comments