Hari
Sabtu, ibu mengajakku untuk berkuliner tongseng kambing. Aku sangat senang
menanggapi ajakan ibuku. Kemudian ibu mengatakan bahwa kami akan membeli
tongseng di Pasar Beringharjo. Kata ibu, tongseng di sana terkenal enak. Seketika
itu juga imajinasiku melayang, membayangkan suasana kuliner pasar tradisional yang
kumuh, becek, dan tentu saja menurunkan selera makan. Bukannya aku tidak
menyukai pasar tradisional, tetapi rasanya pasar tersebut tidak masuk list untuk wisata kuliner. Memangnya ada
menu yang lezat di pasar? Sepanjang perjalanan, pikiran negatif selalu
membayangiku.
Setibanya di
Pasar Beringharjo, aku & ibu memarkir motor di pintu depan pasar yang menghadap
kea rah barat. Area parkir motor yang becek dan kumuh semakin membuat mood-ku anjlok. Ibu lalu menggandeng
tanganku karena takut aku akan hilang (lagi). Maklum, ketika SD aku pernah
hilang di keramaian pasar ^^. Kami naik ke lantai 2. Lantai 2 ini merupakan
los atau kios untuk pedagang-pedagang sayuran, memang ada beberapa kios yang
menjual batik tetapi dominasinya adalah sayuran dan buah-buahan. Beberapa kali ibuku bertegur sapa dengan
beberapa simbok-simbok bakul sayur. Ibuku bercerita bahwa ia sering mengunjungi
para pedagang tersebut karena harus mensurvei daftar harga ataupun inflasi
harga.
Tibalah
kami di kios penjual tongseng. Tersentak aku melihat kondisi kios yang jauh
meleset dari dugaanku semula. Meski lantai terbuat dari ubin, namun suasana
kios tersebut sangat bersih. Kios tongseng menghadap ke utara, di sebelah barat
adalah kios jeruk dan di sebelah utaranya yaitu kios batik. Keramahan penjual tongsengpun
menambah semangatku untuk berkuliner. Aku dan ibu membeli tongseng, adapun menu
yang disediakan adalah tongseng, sate, dan gulai. Penjual tongseng tersebut
adalah seorang simbok yang mungkin usianya sekitar 65-an dibantu dengan 2 orang
ibu-ibu paruh baya. Proses memasak dilakukan di depan pembeli, mulai dari
memotong daging, meracik bumbu, hingga pembuatan tongseng di atas anglo. Hmmm…aromanya
mulai tercium menggiurkan. Wah wah… pasti sangat lezat!
Tongsengpun
siap untuk disantap. Irisan cabe rawit, brambang goreng, dan kol mentah turut
mewarnai penyajian tongseng. “Selamat makan!”, kata ibuku sambil tersenyum
padaku. Suapan pertama, hmmm kuah tongseng yang kental dan dagingnya yang empuk
sungguh memanjakan lidah. Sembari makan, kami disuguhi oleh pemandangan hiruk
pikuk aktivitas di pasar. Mulai dari transaksi jual-beli, tawar-menawar, serta
aksi para buruh gendong yang mayoritas masuk kategori lansia. Sungguh trenyuh
melihat para buruh gendong yang meski usianya sudah tua namun tetap bekerja
keras. Padahal di luar sana banyak dari para lansia yang justru menjadi
pengemis dengan mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
Tak terasa
tongsengpun telah habis. Sungguh sensasi kuliner yang luar biasa ketika menikmati
tongseng sambil disuguhi realita kehidupan pasar. Ada beberapa pelajaran
berharga yang bisa aku ambil
- Jangan mudah berpikiran negatif terhadap sesuatu yang belum tentu itu buruk.
- Don’t judge something from its cover!
- Usia bukan menjadi penghalang untuk kita tetap semangat dan bekerja keras demi meraih sebuah target atau mimpi! *terinspirasi dari para buruh gendong ^^
Comments