Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Menurut BPS,
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
perbulan di bawah Garis Kemiskinan (GK). Penduduk yang
berada di bawah GK dapat dikategorikan miskin, sedangkan yang berada di atas dikategorikan
mampu secara ekonomi. GK Indonesia tahun 2012 menurut BPS adalah Rp 259.520,00. Peta Klasifikasi
Provinsi di Indonesia berdasarkan Garis Kemiskinan Tahun 2012 menunjukkan bahwa
kemiskinan tidak merata persebarannya. Kemiskinan mengelompok di Jawa (kecuali
Jakarta), Nusa Tenggara, Pulau Bali, serta sebagian kecil dari
Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Sungguh ironi, Indonesia yang kaya
akan potensi SDA dan SDM masih memiliki persentase penduduk miskin sebesar
11,66 % (BPS, 2012).
Sumber: Anin, 2013 (diolah dari SUSENAS 2012) |
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak nomor 4 di
dunia setelah India, China, dan Amerika (BKKBN, 2011). Jumlah penduduk
Indonesia berdasarkan SP 2010 adalah 237,6 juta jiwa. Tingginya jumlah penduduk
yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM dan perluasan area tempat
tinggal menjadi faktor pemicu timbulnya kemiskinan. Teori Malthus menyatakan
bahwa jumlah penduduk diasumsikan seperti deret ukur (1,2,4,8,dst), sedangkan
jumlah bahan makanan seperti deret hitung (1,2,3,4,dst). Artinya, pertambahan
penduduk meningkat pesat sedangkan jumlah bahan makanan pertambahannya stabil. Tingginya
pertumbuhan penduduk serta semakin terbatasnya bahan pangan menjadi tantangan
zaman. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali
akan berkaitan dengan penambahan permasalahan, seperti keterbatasan air, bahan
pangan, lahan, peningkatan kriminalitas, pengangguran, serta kemiskinan.
Dampaknya lebih lanjut yaitu over
exploitation SDA dan SDM sehingga dapat mengancam keberlangsungan hidup
makhluk hidup dan kelestarian lingkungan.
Dari gambaran kemiskinan di Indonesia secara umum, kita akan
mengerucut ke salah satu provinsi yang kaya akan SDA dan SDM tetapi masuk ke
dalam kategori miskin, yaitu Jawa Tengah. Peta Klasifikasi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan Garis Kemiskinan Jawa Tengah Tahun 2008 sampai 2010 menunjukkan
sebuah tren kemiskinan. Jumlah kabupaten/kota yang masuk kategori miskin lebih
banyak daripada yang berada di atas GK. Perubahan pola kemiskinan wilayah dari
tahun 2008-2010 tidak begitu signifikan, meskipun persentase jumlah penduduk
miskin mengalami penurunan. Artinya, upaya pengentasan kemiskinan yang
dilakukan oleh berbagai pihak belum menunjukkan hasil optimal.
Sumber: Anin, 2013 (diolah dari data kemiskinan BPS 2008) |
Sumber: Anin, 2013 (diolah dari data kemiskinan BPS 2009) |
Sumber: Anin, 2013 (diolah dari data kemiskinan BPS 2010) |
Menurut BPS berdasarkan
Proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010, jumlah penduduk Jawa Tengah tahun 2011
sebesar 32,64 juta jiwa atau
13,54 %
dari jumlah penduduk Indonesia. Hal ini menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi ketiga
di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Barat dan Jawa
Timur. Jawa Tengah terdiri dari jutaan penduduk yang bervariasi
agamanya. Berdasarkan SP 2010, penduduk Jawa Tengah menurut agamanya adalah
sebagai berikut:
Sumber: Sensus Penduduk Jawa Tengah Tahun 2010 |
Pembangunan
sarana peribadatan berkembang maju di Jawa Tengah. Banyaknya tempat peribadatan pada tahun 2010,
mencapai 125.000 buah, yang terdiri dari sebanyak 97,29 % Masjid; 2,25 % Gereja Kristen dan Katholik; dan 0,46 % Pura dan Vihara.
Peningkatan kemajuan dibidang keagamaan tidak semata dinilai dari
pembangunan secara fisik saja, misalnya pembangunan tempat ibadat. Pembangunan
harus melibatkan pembangunan moral dan spriritual umat beragama. Di tengah
keberagaman agama dan kepercayaan, peran pemuka agama menjadi sangat penting. Mereka
seharusnya bertindak sebagai kawan supaya mampu merangkul seluruh umat. Masing-masing
agama wajib bekerja sama untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang positif
demi memajukan kehidupan bangsa dan negara tanpa melupakan norma-norma yang
berlaku. Agama pada hakikatnya berperan sebagai alat pemantik kebersamaan dan
kegotongroyongan, bukan pemicu perselisihan. Pembangunan SDA dan SDM supaya
menjadi semakin berkualitas hendaknya tidak melupakan faktor kelestarian
lingkungan. Jangan sampai terjadi eksploitasi berlebih yang justru dapat
merugikan manusia. SDA harus diolah dan dimanfaatkan secara optimal dan
bijaksana supaya dapat diwariskan ke generasi masa datang.
Hidup beragama secara rukun sejatinya mampu menjadi solusi ampuh
dalam pengentasan kemiskinan. Pengamalan tri kerukunan umat beragama merupakan
kunci dari keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Dimulai dari ketaatan umat
seagama kepada pimpinan agamanya, dilanjutkan dengan gerakan positif lintas
agama, hingga akhirnya terjalin kerja sama yang solid antara umat beragama
dengan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pembangunan SDM oleh umat
beragama bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM itu sendiri. Siapa yang
termasuk umat beragama? Umat beragama bukan hanya mereka yang kaya, melainkan
orang miskinpun harus mau diajak bersatu untuk berjuang bersama. Gap /
kesenjangan antara si kaya dan si miskin harus dihapus jika ingin terjalin
kerukunan. Sasaran utama pembangunan adalah keluarga. Keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat mempunyai peran dalam penanggulangan kemiskinan. Umat
beragama dapat berperan misalnya dengan bekerja sama mengadakan pelatihan
kewirausahaan, membantu mengajar, meminjamkan modal untuk usaha kecil dan
menengah sehingga mampu memperluas kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang luas
akan mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan pendapatan per kapita,
akibatnya secara otomatis kemiskinan pun berkurang.
Berpeganglah tangan satu dalam cita,
demi masa depan Indonesia jaya…
Comments