Antara Jogja dan Belanda






Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa menjalani LDR Jogja-Belanda...

Long Distance Relationship (LDR) disini bukan relationship antara aku dan pacar, melainkan relationship antara aku dan dosen pembimbing skripsi (DPS). Menjelang saat-saat krusial dalam pengumpulan draft skripsi, DPS idolaku justru akan hijrah ke Belanda yaitu 29 Mei - 15 Juni 2013 dalam rangka ujian disertasi. Begitu mengetahui hal tersebut, aku langsung kejar tayang merampungkan skripsiku sebelum tanggal 29 Mei 2013. Puji Tuhan tanggal 21 Mei 2013 aku berhasil menyelesaikan semuanya. Langsung aku menghubungi DPS dengan niat ingin mengumpulkan draft skripsiku itu.

Aku bertanya,”Pak, sebaiknya draft skripsi saya dikumpulkan ke Bapak langsung atau dititipkan ke sekretaris?”
Lalu si Bapak menjawab,”Sebaiknya kirim lewat email saja Mbak. Karena akhir-akhir ini saya sulit untuk ditemui terkait persiapan keberangkatan saya. Kalau via email kan nanti bisa saya baca-baca waktu di Belanda.”

Akhirnya 22 Mei 2013 aku mengirimkan draft skripsiku mulai dari cover, daftar isi, bab 1-5 (komplit), daftar pustaka, dan lampiran ke email DPS-ku. Lalu si Bapak mengirim sms kepadaku,
“Mbak, email sudah saya terima, besok saya usahakan cek.” 

Singkat cerita, deadline pengumpulan dan pendaftaran ujian pendadaran Juni sudah semakin dekat, yaitu 20 Juni 2013. Parahnya, belum ada tanggapan email dari DPSku. Rutinitasku “buka-tutup” email tampaknya sia-sia belaka dari hari ke hari. Komunikasiku dengan DPS sangat terbatas, kami hanya dapat komunikasi via email (biaya telepon / sms mahal) -__-
11 Juni 2013, penantianku pun berakhir. Beliau membalas emailku terkait informasi akademik tentang batas akhir pendaftaran pendadaran Juni.  *FYI, di fakultasku H-1 bulan sebelum wisuda tidak diadakan jadwal ujian pendadaran.*

Beliau berkata,” Anin kepengen daftar yang tanggal 20 Juni itu?”
Aku menjawab,” Iya Pak, seandainya memungkinkan. Tapi saya tetap menunggu sampai Bapak selesai membaca draft skripsi saya. Terima kasih Pak.”
Beliau membalas,” Atau mau ganti pembimbing saja biar bisa lebih cepat, karena saya belum tentu bisa menyelesaikan membaca sebelum tgl 20 dan itupun masih perlu waktu perbaikan. saat ini saya masih di belanda dan sedang mempersiapkan ujian desertasi saya.”
Saya menanggapinya,” Oh, iya Pak saya rasa tidak usah ganti pembimbing. Tidak papa kok tidak harus tanggal 20 itu. Saya tunggu Pak hasil koreksi Bapak. Selamat mempersiapkan ujian Pak.”

Huft...inilah jawaban dari akhir sebuah penantian. Aku tahu bahwa selama di Belanda DPSku itu teramat sangat sibuk. Ya sudah, mari belajar toleransi dan sabar ^^

Kesimpulan:
Jarak akan menjadi sebuah masalah yang berat apabila kesibukan hadir di dalamnya. Seberapapun canggihnya sarana komunikasi antara 2 benua, namun apalah artinya jika kesibukan kerja/studi dijadikan prioritas di dalam sebuah relasi. Sabar menunggu itulah solusi terbaik. (Anin, 2013)

 





Comments