Dari Kelanakata Untukku :)

Hei Bloggers :)
Postingan kali ini adalah re-post dari blog seorang temanku. Aku sangat terharu ketika dia membuat tulisan untukku :) Yap, sebuah karya yang luar biasa dari kelanakata ^^

Kepada Gadis yang Baru Saja Kehilangan Ibunya

Kalau Kau tanya perasaan apa yang paling menyayat hati? Jawabannya adalah kehilangan. Apa itu kehilangan? Kehilangan berarti ada sesuatu yang terlepas dari miliki kita, ada sesuatu yang tak bisa kita peluk lagi, ada sesuatu yang bukan lagi hak kita? Kalau aku kehilangan dompet, berarti dompet itu tak lagi kumiliki. Dompet itu tak bisa kupandang lagi wujudnya, dompet itu terlepas dari jangkauanku.
Lalu, bagaimana kalau kehilangan orang yang paling kita kasihi?
Baiklah kuceritakan dulu. Aku pun pernah kehilangan. Ayahku meninggal tepat dua minggu sebelum aku ujian komprehensif. Aku tak pernah menduga akan secepat itu. Kau tahu? Aku mengikuti upacara pemberkatan jenazah ayahku tanpa pernah sadar kalau ia benar-benar sudah tak ada. Aku ikut menangis tersedu ketika kakak iparku menangis sambil memelukku.
Kami menangis seperti anak ayam kehilangan induknya. Yang membuatku sedih adalah ayahku beberapa hari sempat tak sadarkan diri. Aku belum bisa meminta maaf akan kesalahanku. Di mana pun relasi seorang ayah-anak rentan dengan kesalahan. Relasi ayah-anak rentan akan perdebatan, kata-kata kasar, dan bahkan, penolakan. Selesai dimakamkan, aku duduk menyendiri di sudut rumah, sambil menggugat Tuhan, mengapa Ia memanggil ayahku begitu cepat? Belum sempat aku membuatnya tersenyum bangga, ia telah tiada.
Setahun setelah ayahku tiada, ibuku pun kerap sakit-sakitan. Mungkin benar, lebih mudah seorang lajang menikmati hari tuanya, daripada seorang yang ditinggal mati belahan jiwanya menikmati usia senja. Terakhir, ibuku terkenastroke. Tubuhku yang besar tiba-tiba saja menyusut, tinggal kulit yang menyatu dengan tulang. Yang lebih membuatku pedih, ia yang terbiasa kerja keras, kini hanya bisa berbaring di ranjang. Tiap kali pulang, selepas aku menemuinya di ranjangnya, aku masuk kamarku, dan tak keluar-keluar. Di sana aku menangis sejadi-jadinya. Ibuku, seorang pekerja hebat, kini ia terbaring sekarat. Ibuku dulu yang banyak kata, kini kadang tak nyambung dengan lawan bicara. Kini ia hanya bisa berteriak bila meminta tolong.
Kalau Kau jadi aku apa lalu bertanya di mana keadilan Tuhan? Apa maksud Tuhan memberikan ini semua?
Apa yang kita tangisi ketika seseorang yang kita kasihi tiada? Mungkin jawabannya begini: Aku masih banyak salah. Aku belum bisa membahagiakannya. Aku belum bisa membuatnya gembira. Aku lebih sering menelantarkannya.Aku seringkali mengecewakannya. Aku belum bisa membuatnya bangga. Aku ingin ia masih menemaniku. Aku ingin ia mendengarkan curhatanku. Aku ingin ia memilihkan gaun pernikahanku. Aku ingin masih ada yang mengingatkanku bila terlalu banyak pergi. Aku, dan Aku dan Aku seterusnya.
Kalau Aku, dan Aku yang menjadi subyek-nya terus menerus, konon itu pertanda kita egois. Pada peristiwa kematian orang yang kita kasihi, baik kiranya kita ganti saja, subyeknya dengan kata “Tuhan”. Begini misalnya: Tuhanlah yang paling mencintai, menginginkannya berpulang. Ya, rasanya, kita belajar untuk tidak egois. Dan, bukankah manusia milik Tuhan semata, bagaimana mungkin kita tak mau melepaskannya?

Comments