Pingitan Hanyalah Wacana


Prosesi pingitan dalam tradisi pernikahan adat Jawa dilakukan oleh pasangan yang akan segera menikah. Dipingit artinya kedua calon mempelai dilarang untuk bertemu hingga hari pernikahan tiba. Tak hanya itu, dipingit berarti calon pengantin dilarang untuk beraktivitas keluar rumah. Durasi waktu pingitan berbeda-beda, tergantung pemahanan tetua atau orang tua. Tujuan pingitan sendiri adalah mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (baik gangguan yang terlihat maupun yang tak terlihat) yang mampu mencelakai kedua calon pengantin. Selain itu apabila dipingit, maka calon pengantin wanita dipercaya akan terlihat ‘manglingi’ ketika hari-H. Calon pengantin dapat melakukan banyak hal selama masa pingitan, seperti spa, perawatan salon, istirahat cukup, dan berkumpul bersama keluarga.

Namun apa pingitan masih berlaku di jaman NOW?

Jawabannya: YA dan TIDAK.

Saya termasuk yang menjawab TIDAK. 
Bukannya tidak ingin menjalankan ritual adat Jawa tersebut, tetapi keadaanlah yang tidak memungkinkan saya & suami untuk dipingit. Saya bekerja di Jakarta dan suami saya di Jogja.

Long Distance Relationship (LDR) membuat saya & suami harus memaksimalkan waktu pertemuan untuk mengurusi pernak-pernik pernikahan, terlebih kami mengurus segalanya sendiri, dan prinsipnya tidak ingin merepotkan orang tua.

Saya menikah tanggal 29 Desember, sedangkan saya baru cuti panjang tanggal 21 Desember. Hanya seminggu waktu yang saya miliki untuk finishing pernak-pernik pernikahan. Banyak ‘printilan’ yang belum terselesaikan, seperti: mengantar beberapa undangan yang belum, membeli barang-barang seserahan, melunasi katering, gedung, berbagai teks ibadat & misa, dekor, tenda, memesan snack & ‘ulih-ulih’, supervisi koor dan koordinasi dengan beberapa panitia, fitting baju Ngundhuh Mantu, membeli bingkisan untuk beberapa tamu terlibat, mencetak foto untuk dipajang, dan ahhhhh masih banyak sekali yang belum terselesaikan.

Boro-boro dipingit, spa-nyalon saja tidak terpikir oleh saya. Manabisa saya dipingit jika saya masih harus wara-wiri ke sana-sini mengurus ini-itu & saya butuh calon suami saya untuk menemani saya. Kata orang, persiapan nikah itu gak akan ada habisnya; yang bikin berhenti siap-siap adalah “sudah hari H”.

Tidak dipingit bukan berarti kami tidak percaya adat Jawa. Kami tetap melakukan rutinitas ‘nyekar’ atau ziarah ke makan keluarga kami dengan tujuan untuk mendoakan mereka dan memohon restu. Segala persiapan kami terasa sedikit beres ketika H-3. Kami berencana untuk istirahat penuh dan mempersiapkan hati kami menuju Sakramen Perkawinan.

Ternyata Tuhan punya rencana lain. H minus 3 hari, bapak saya masuk Rumah Sakit Mata Dr.YAP. Malam itu sekitar pukul 7, saya dan suami baru saja sampai rumah setelah seharian mengurusi ‘printilan’ pernikahan. Niat hati ingin segera istirahat, eh ternyata Tuhan berencana lain. Sebelum pergi ke dokter spesialis mata, terlebih dahulu calon suami saya mengecek mata bapak secara sekilas (tanpa alat bantu medis). Gejalanya adalah mata merah seperti hendak mengeluarkan darah. Tapi bapak tidak merasakan perih atau pandangan kabur. Kami sekeluarga merasa panik, saya bahkan menangis. Calon suami saya yang adalah dokter berusaha memberi pengertian pada bapak, saya, & kakak bahwa penyakit mata bapak ini sangatlah level ringan. Memang tampakannya seram, tetapi ini penyakit mata sangat ringan. Penyakit ini bernama Subconjunctiva hemorrhage atau dalam bahasa awan disebut pendarahan selaput mata. Penyebabnya adalah batuk yang tak kunjung berhenti & hipertensi.


Saya stres, menangis, & pikiran kacau tidak karuan. Saya menyadari bahwa fase-fase persiapan pernikahan ini begitu melelahkan dan mengurasi mental serta fisik. Bukan hanya saya & calon suami, bapak juga pasti lelah secara fisik & mental. Trauma masa lalu terus membayang-bayangi pikiran saya. Satu bulan sebelum kakak saya menikah, ibu saya meninggal. Dan banyak kejadian serupa yang saya temui. Paranoid. Mungkin itulah sebutan yang tepat untuk apa yang saya alami.
Proses penyembuhan sampai mata menjadi jernih kembali sekitar 1 minggu (termasuk cepat dari yang prediksi dokter 3 minggu). Memang mata bapak saya merah selama proses pernikahan saya. Tapi itu hanya tentang estetika saja, selebihnya momen itu tetaplah sakral, khidmat, dan membahagiakan.

Pingitan itu penting. Itulah hasil permenungan saya. Jangan jadikan pingitan hanya sebatas wacana. Selain karena menjalankan tradisi Jawa, hal itu penting bagi kesehatan jiwa & raga, baik untuk calon pengantin maupun keluarga.


Keep healthy and stay happy, Guys!


Mata sembab, wajah lusuh belum mandi ketika di RS YAP



Comments