Obat yang Mujarab itu “Jangan Sambat!”


Sakit adalah sebuah peristiwa yang tentunya tidak pernah nihil dari kisah hidup manusia. Setiap orang pasti pernah bersentuhan dengan kata “sakit”, entah itu ringan atau berat. Peristiwa sakit yang melekat dalam pengalaman kitapun beraneka macam, baik sakit yang dialami oleh diri sendiri maupun sakit yang dialami oleh orang lain di sekitar kita. Kali ini saya ingin mengajak teman-teman untuk melihat ‘sakit’ dari sudut pandang yang berbeda. Bukan pengalaman ketika kita sedang sakit, melainkan pengalaman ketika kita menunggui orang sakit.

Pada suatu senja yang dihiasi langit kelabu, ada sepasang suami istri yang sedang mengantri di sebuah ruangan rumah sakit. Bukan untuk mengantri obat atau dokter, melainkan mengantri kamar opname. Kepastianpun tiba setelah lebih dari 3 jam menunggu. Sambil membawa barang bawaan seadanya, sepasang suami istri itupun dengan langkah gontai berjalan bersama seorang perawat menuju kamar opname yang telah disiapkan. Lelah fisik rupanya tidak berhenti setibanya di kamar opname. Lelah fisik sang suami itu berbaur bersama lelah hati tatkala dokter menyampaikan kabar bahwa esok hari sang istri harus segera dioperasi. Bukan operasi berat, hanya pemasangan selang pada salah satu organ dalam tubuh. Malam semakin larut, ketika seorang anak perempuan tiba di kamar opname. Bersama sang ayah, anak perempuan itupun ikut berjaga. Bukan di sofa empuk, karena ini bukan kamar VIP, melainkan di atas lembaran koran.

Pagi itu sangat cerah. Kamar opname di lantai satu itu hanya terdiri dari 2 pasien yang sekatnya dibatasi oleh gorden berwarna putih. Ketika membuka pintu dan jendela, pemandangan hijaunya rumput dan kicauan burung gereja cukup memberikan suasana nyaman. Bersih, asri, dan jauh dari kesan ‘rumah sakit’. Senyaman-nyamannya rumah sakit, tentu jauh lebih nyaman rumah sendiri bukan?

Singkat kata, operasi pemasangan selang-pun berjalan sukses. Wajah bapak dan anak perempuan itupun memancarkan kelegaan. Selanjutnya adalah masa pemulihan jilid yang pertama. Mengapa saya katakan jilid yang pertama? Karena akan ada masa pemulihan jilid-jilid yang lainnya. Bapak dan anak perempuan itu secara bergantian menunggui wanita yang  sangat mereka cintai itu. Kebetulan anak perempuan itu sudah lulus kuliah dan masih menunggu panggilan kerja, jadi ketika pagi-siang-sore, ia menjaga ibunya karena bapaknya harus bekerja. Bagaimana ketika malam? Terkadang si bapak yang berjaga. Namun melihat raut wajah lelah sang bapak, maka si anak perempuan bergegas meminta bapak untuk pulang dan istirahat di rumah saja, biar dia yang menjaga ibunya. Kamar opname sudah seperti rumah sendiri. Pakaian ganti hingga kasur lipat tersedia di sana. Kurang lebih 1 minggu, begitulah rutinitas yang terus dijalani hingga kabar yang mengerikan itupun datang. Intinya, operasi pertama pemasangan selang itu tidak mampu menyembuhkan penyakit sang ibu. Tim dokter menyarankan operasi kedua, operasi yang tergolong besar: pengambilan salah satu organ dalam tubuh. Inilah solusi terbaik menurut tim dokter profesional itu. Solusi terbaik-kah namanya jika untuk memperolehnya banyak pihak yang harus menanggung derita?

Setelah tim dokter mengabarkan bahwa operasi harus segera dilakukan, si anak perempuan bergegas ke kamar mandi. Ia menatap wajahnya di cermin, menghidupkan air kran, lalu menangis dalam kepedihan yang begitu menyayat hati. Usai air mata itu mengering, dibasuhlah wajahnya karena dia tak mau orangtuanya tau bahwa dia habis menangis. Rupaya sang ibu tidak dapat dikelabui dengan senyuman palsu si anak. Sang ibu bertanya,”Dek, habis nangis ya? Kenapa kok nangis? Memangnya ibu gak akan sembuh lagi po? Sana Nduk kamu pulang, malam ini biar bapak aja yang jaga. Doakan operasinya besok lancar ya!” Operasi yang seharusnya dijadwalkan esok haripun ditunda karena kondisi darah sang ibu sedang tidak baik. Ibu harus menjalani beberapa tes darah terlebih dahulu. Setelah kondisi ibu dinyatakan siap untuk menjalani operasi besar, maka hari operasipun dijadwalkan. Semalam sebelum operasi besar, keluarga kecil itu berkumpul, berdo, dan berdevosi bersama. Si kakak yang bekerja di luar kotapun sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit demi mendampingi sang ibu terkasih. Terlihat jelas wajah tegang dan takut menyelimuti sang ibu. Namun ia masih sempat berkata,”ibu uwis pasrah.. Gusti Yesus dan Bunda Maria pasti tahu yang terbaik”.

Beberapa jam menjelang operasi, bapak-ibu-adik-kakak berdoa novena. Bapak tidak mampu melanjutkan doa karena ia tak mampu menahan haru. Si anak perempuan itupun sebenarnya tidak kuat, tetapi ia tahu bahwa ia harus kuat karena ia ingin menguatkan sang ibu. Hampir 6 jam menunggu proses operasi, akhirnya sang ibu dibawa ke ruang ICU. Ruang ICU seperti ruangan ‘neraka’. Tak ada canda dan tawa di sana, yang ada hanya rintihan sakit, kesendirian, dan air mata. Seperti ruang isolasi, pasien hanya dapat dilihat dari balik kaca dan tak dapat dikunjungi kecuali pada jam kunjung dan kecuali dalam keadaan “bahaya”. Menunggu di luar ruang kaca ICU adalah hal yang paling menyiksa. Di sana terlihat berbagai macam alat kedokteran canggih dan selang-selang yang terpasang di tubuh pasien. Bapak dan kedua anaknya itupun gelisah menunggu kabar dari dokter dan perawat untuk menyatakan bahwa kondisi sang ibu sudah melewati masa kritis. Kedua anak itupun secara bergantian menyuapi sang ibu (tentunya ketika jam kunjung tiba). Meski sang ibu belum mampu berbicara (karena kerongkongannya masih terkena efek bius), kedua kakak-beradik itu selalu menghibur dan menyemangati sang ibu. Tak ada kata lelah, yang penting ibu tak boleh menyerah.

Setelah 2 malam di ICU, sang ibu diperbolehkan keluar dan menempati bangsal rawat inap semula. Inilah yang disebut masa pemulihan jilid yang kedua. Praktis sang ibu hanya dapat beraktivitas di atas tempat tidur. Tentu saja ia belum boleh terlalu banyak bergerak karena organ dalam tubuhnya baru saja diambil dan rasa sakitnya tentu luar biasa. Beberapa hari pasca-operasi, dokter sudah menyarankan agar sang ibu mulai sedikit demi sedikit belajar berjalan lagi. Apa susahnya berjalan? Itu yang terlintas dalam pikiran si anak perempuan. Ternyata belajar berjalan dari awal lagi itu sangat sulit ketika hampir 3 minggu pasien hanya berada di atas tempat tidur.

Sudah hampir sebulan berlalu. Sang bapak dan anak perempuan sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit. Terbiasa tidur di atas lantai, terbiasa bangun tengah malam untuk mengecek infus sudah habis atau belum, terbiasa mendadak dibangunkan untuk membantu ibu untuk buang ai kecil di pispot, dll. Si anak perempuan pun terbiasa dengan rutinitasnya di rumah sakit. Saat-saat paling menyakitkan adalah ketika selang infus harus diganti karena nadi di tangan sang ibu seringkali bengkak. Mungkin karena sudah terlalu lama ditusuk jarum infus. Tidak tega ketika jarum-jarum ukuran besar itu dimasukan ke nadi sang ibu, si anak perempuan tetap harus kuat menyaksikan itu semua.

Namanya manusia, tentu ada masa-masa di mana berada pada titik jenuh. Tak jarang terkadang si anak perempuan tidak sabar dan lelah dengan kondisi sang ibu. Pernah ia jengkel dan marah-marah kepada sang ibu karena sang ibu bersikap manja. Bukan manja sebernarnya, sang ibu ingin sekali dapat mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Tapi apa daya, ia tak berdaya. Inilah yang menyadarkan si anak perempuan untuk mampu berpikir dewasa dan menjauhkan diri dari kata mengeluh alias sambat. Lambat laun ia mulai menikmati ritme-nya. Bangun pagi – misa pagi di kapel rumah sakit – menyiapkan keperluan mandi sang ibu – menyuapi ibu. Ketika menjelang siang, si anak perempuan sudah siap duduk di samping ibunya dan merekapun selalu cerita dari hati ke hati. Cerita apapun itu hingga ketika rasa kantuk melanda, si anak tidur pulas di samping ibunya. Kedekatan ibu dan anak ini kian bertambah erat seiring intensitas komunikasi yang semakin berkualitas.

Genap sebulan menginap di rumah sakit, akhirnya sang ibu diijinkan untuk rawat jalan. Masih sulit untuk berjalan memang, tetapi berada di rumah sendiri bukankah selalu lebih membahagiakan? Inilah fase pemulihan jilid yang ketiga. Sang anak harus bangun pagi untuk menyiapkan makanan sang ibu. Tentunya tidak sembarang makanan karena banyak sekali makanan pantangan bagi sang ibu. Sang anak pun bertindak sebagai perawat dadakan ketika harus mengganti kassa di bekas luka jahitan ibunya. Ada pendampingan oleh perawat senior yang berkunjung ke rumah, tetapi sang anak diminta juga untuk dapat merawat luka ibunya sendiri. Mulai dari sterilisasi pinset dengan merebusnya di air panas hingga strerilisasi kassa dari proses memotong dengan ukuran tertentu-mengukus-mengeringkan namun sterilisasi tetap terjaga kemudian mencampurinya dengan obat-obat anjuran dokter. Belum lagi membantu ibu BAK dan BAB, semua dipelajarinya secara instan.

Menunggui orang sakit bukanlah perkara sepele. Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan ketegaran luar biasa di dalamnya. Stamina yang fit juga mutlak diperlukan. Jangan sampai gara-gara menunggui orang sakit, kita jadi ikut-ikutan sakit. Dan yang paling penting adalah jangan sekali-kali terlihat lelah, sedih, jenuh atau mengeluh di hadapan orang sakit. Tindakan itu berdampak besar bagi psikologis si pasien. Si pasien akan down, merasa dirinya tidak berguna karena selalu merepotkan orang lain, dan pasien akan kehilangan harapan untuk sembuh. Pikiranmu adalah doamu. Buatlah mereka semangat, percaya diri, dan berpengharapan untuk sembuh. Hiburlah dan buatlah mereka bahagia. Jangan malah ‘sambat’!

Akhir kisah, tambahkan beberapa kata dalam doamu. Jangan hanya berdoa memohon untuk kesembuhan si sakit, tetapi mohonkanlah rahmat kesehatan, kekuatan, kesabaran, dan ketegaran bagi mereka yang mendampingi si sakit. Percayalah, obat yang mujarab itu adalah jangan sambat!

Bagaimana kondisi sang ibu saat ini? Sudah pulihkah dia? Ya, kini sang ibu sudah terlepas dari segala rasa sakit yang ia derita. Ia hanya mampu merasakan bahagia karena saya yakin sang ibu sedang tersenyum melihat saya, bapak saya, dan kakak saya dari Surga J

-selamat hari orang sakit sedunia (11 Februari 2015)-

Benedicta Anin P. L

Source: Humble Bundle Melbourne

Comments

gregorius aditya said…
She is always smile in our heart, and sometimes when His time comes we will meet her again in beautiful heaven...I always pray for her,dad,you every time..
benedicta anin said…
Yes, i still remember what the priest said about life: "Life is not eliminated, but it's changed".
Thank God i have you, sister-in-law, dad, and mom :)