Sakit adalah sebuah peristiwa yang
tentunya tidak pernah nihil dari kisah hidup manusia. Setiap orang pasti pernah
bersentuhan dengan kata “sakit”, entah itu ringan atau berat. Peristiwa sakit
yang melekat dalam pengalaman kitapun beraneka macam, baik sakit yang dialami
oleh diri sendiri maupun sakit yang dialami oleh orang lain di sekitar kita. Kali
ini saya ingin mengajak teman-teman untuk melihat ‘sakit’ dari sudut pandang
yang berbeda. Bukan pengalaman ketika kita sedang sakit, melainkan pengalaman
ketika kita menunggui orang sakit.
Pada suatu senja yang dihiasi langit
kelabu, ada sepasang suami istri yang sedang mengantri di sebuah ruangan rumah
sakit. Bukan untuk mengantri obat atau dokter, melainkan mengantri kamar
opname. Kepastianpun tiba setelah lebih dari 3 jam menunggu. Sambil membawa
barang bawaan seadanya, sepasang suami istri itupun dengan langkah gontai
berjalan bersama seorang perawat menuju kamar opname yang telah disiapkan.
Lelah fisik rupanya tidak berhenti setibanya di kamar opname. Lelah fisik sang
suami itu berbaur bersama lelah hati tatkala dokter menyampaikan kabar bahwa
esok hari sang istri harus segera dioperasi. Bukan operasi berat, hanya
pemasangan selang pada salah satu organ dalam tubuh. Malam semakin larut,
ketika seorang anak perempuan tiba di kamar opname. Bersama sang ayah, anak
perempuan itupun ikut berjaga. Bukan di sofa empuk, karena ini bukan kamar VIP,
melainkan di atas lembaran koran.
Pagi itu sangat cerah. Kamar opname
di lantai satu itu hanya terdiri dari 2 pasien yang sekatnya dibatasi oleh
gorden berwarna putih. Ketika membuka pintu dan jendela, pemandangan hijaunya
rumput dan kicauan burung gereja cukup memberikan suasana nyaman. Bersih, asri,
dan jauh dari kesan ‘rumah sakit’. Senyaman-nyamannya rumah sakit, tentu jauh
lebih nyaman rumah sendiri bukan?
Singkat kata, operasi pemasangan
selang-pun berjalan sukses. Wajah bapak dan anak perempuan itupun memancarkan
kelegaan. Selanjutnya adalah masa pemulihan jilid yang pertama. Mengapa saya
katakan jilid yang pertama? Karena akan ada masa pemulihan jilid-jilid yang
lainnya. Bapak dan anak perempuan itu secara bergantian menunggui wanita
yang sangat mereka cintai itu. Kebetulan
anak perempuan itu sudah lulus kuliah dan masih menunggu panggilan kerja, jadi
ketika pagi-siang-sore, ia menjaga ibunya karena bapaknya harus bekerja.
Bagaimana ketika malam? Terkadang si bapak yang berjaga. Namun melihat raut
wajah lelah sang bapak, maka si anak perempuan bergegas meminta bapak untuk
pulang dan istirahat di rumah saja, biar dia yang menjaga ibunya. Kamar opname
sudah seperti rumah sendiri. Pakaian ganti hingga kasur lipat tersedia di sana.
Kurang lebih 1 minggu, begitulah rutinitas yang terus dijalani hingga kabar
yang mengerikan itupun datang. Intinya, operasi pertama pemasangan selang itu
tidak mampu menyembuhkan penyakit sang ibu. Tim dokter menyarankan operasi
kedua, operasi yang tergolong besar: pengambilan salah satu organ dalam tubuh. Inilah
solusi terbaik menurut tim dokter profesional itu. Solusi terbaik-kah namanya jika untuk memperolehnya banyak pihak yang
harus menanggung derita?
Setelah tim dokter mengabarkan bahwa
operasi harus segera dilakukan, si anak perempuan bergegas ke kamar mandi. Ia
menatap wajahnya di cermin, menghidupkan air kran, lalu menangis dalam
kepedihan yang begitu menyayat hati. Usai air mata itu mengering, dibasuhlah
wajahnya karena dia tak mau orangtuanya tau bahwa dia habis menangis. Rupaya
sang ibu tidak dapat dikelabui dengan senyuman palsu si anak. Sang ibu
bertanya,”Dek, habis nangis ya? Kenapa kok nangis? Memangnya ibu gak akan
sembuh lagi po? Sana Nduk kamu pulang, malam ini biar bapak
aja yang jaga. Doakan operasinya besok lancar ya!” Operasi yang seharusnya
dijadwalkan esok haripun ditunda karena kondisi darah sang ibu sedang tidak
baik. Ibu harus menjalani beberapa tes darah terlebih dahulu. Setelah kondisi
ibu dinyatakan siap untuk menjalani operasi besar, maka hari operasipun
dijadwalkan. Semalam sebelum operasi besar, keluarga kecil itu berkumpul,
berdo, dan berdevosi bersama. Si kakak yang bekerja di luar kotapun sedang
dalam perjalanan menuju ke rumah sakit demi mendampingi sang ibu terkasih.
Terlihat jelas wajah tegang dan takut menyelimuti sang ibu. Namun ia masih
sempat berkata,”ibu uwis pasrah..
Gusti Yesus dan Bunda Maria pasti tahu yang terbaik”.
Beberapa jam menjelang operasi,
bapak-ibu-adik-kakak berdoa novena. Bapak tidak mampu melanjutkan doa karena ia
tak mampu menahan haru. Si anak perempuan itupun sebenarnya tidak kuat, tetapi
ia tahu bahwa ia harus kuat karena ia ingin menguatkan sang ibu. Hampir 6 jam
menunggu proses operasi, akhirnya sang ibu dibawa ke ruang ICU. Ruang ICU
seperti ruangan ‘neraka’. Tak ada canda dan tawa di sana, yang ada hanya
rintihan sakit, kesendirian, dan air mata. Seperti ruang isolasi, pasien hanya
dapat dilihat dari balik kaca dan tak dapat dikunjungi kecuali pada jam kunjung
dan kecuali dalam keadaan “bahaya”. Menunggu di luar ruang kaca ICU adalah hal
yang paling menyiksa. Di sana terlihat berbagai macam alat kedokteran canggih
dan selang-selang yang terpasang di tubuh pasien. Bapak dan kedua anaknya
itupun gelisah menunggu kabar dari dokter dan perawat untuk menyatakan bahwa
kondisi sang ibu sudah melewati masa kritis. Kedua anak itupun secara
bergantian menyuapi sang ibu (tentunya ketika jam kunjung tiba). Meski sang ibu
belum mampu berbicara (karena kerongkongannya masih terkena efek bius), kedua kakak-beradik
itu selalu menghibur dan menyemangati sang ibu. Tak ada kata lelah, yang penting ibu tak boleh menyerah.
Setelah 2 malam di ICU, sang ibu
diperbolehkan keluar dan menempati bangsal rawat inap semula. Inilah yang
disebut masa pemulihan jilid yang kedua. Praktis sang ibu hanya dapat
beraktivitas di atas tempat tidur. Tentu saja ia belum boleh terlalu banyak
bergerak karena organ dalam tubuhnya baru saja diambil dan rasa sakitnya tentu
luar biasa. Beberapa hari pasca-operasi, dokter sudah menyarankan agar sang ibu
mulai sedikit demi sedikit belajar berjalan lagi. Apa susahnya berjalan? Itu yang terlintas dalam pikiran si anak
perempuan. Ternyata belajar berjalan dari awal lagi itu sangat sulit ketika
hampir 3 minggu pasien hanya berada di atas tempat tidur.
Sudah hampir sebulan berlalu. Sang
bapak dan anak perempuan sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit.
Terbiasa tidur di atas lantai, terbiasa bangun tengah malam untuk mengecek
infus sudah habis atau belum, terbiasa mendadak dibangunkan untuk membantu ibu
untuk buang ai kecil di pispot, dll. Si anak perempuan pun terbiasa dengan
rutinitasnya di rumah sakit. Saat-saat paling menyakitkan adalah ketika selang
infus harus diganti karena nadi di tangan sang ibu seringkali bengkak. Mungkin
karena sudah terlalu lama ditusuk jarum infus. Tidak tega ketika jarum-jarum
ukuran besar itu dimasukan ke nadi sang ibu, si anak perempuan tetap harus kuat
menyaksikan itu semua.
Namanya manusia, tentu ada masa-masa
di mana berada pada titik jenuh. Tak jarang terkadang si anak perempuan tidak
sabar dan lelah dengan kondisi sang ibu. Pernah ia jengkel dan marah-marah
kepada sang ibu karena sang ibu bersikap manja. Bukan manja sebernarnya, sang
ibu ingin sekali dapat mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Tapi apa daya,
ia tak berdaya. Inilah yang menyadarkan si anak perempuan untuk mampu berpikir
dewasa dan menjauhkan diri dari kata mengeluh alias sambat. Lambat laun ia mulai menikmati ritme-nya. Bangun pagi –
misa pagi di kapel rumah sakit – menyiapkan keperluan mandi sang ibu – menyuapi
ibu. Ketika menjelang siang, si anak perempuan sudah siap duduk di samping
ibunya dan merekapun selalu cerita dari hati ke hati. Cerita apapun itu hingga
ketika rasa kantuk melanda, si anak tidur pulas di samping ibunya. Kedekatan
ibu dan anak ini kian bertambah erat seiring intensitas komunikasi yang semakin
berkualitas.
Genap sebulan menginap di rumah
sakit, akhirnya sang ibu diijinkan untuk rawat jalan. Masih sulit untuk
berjalan memang, tetapi berada di rumah sendiri bukankah selalu lebih
membahagiakan? Inilah fase pemulihan jilid yang ketiga. Sang anak harus bangun
pagi untuk menyiapkan makanan sang ibu. Tentunya tidak sembarang makanan karena
banyak sekali makanan pantangan bagi sang ibu. Sang anak pun bertindak sebagai
perawat dadakan ketika harus mengganti kassa di bekas luka jahitan ibunya. Ada
pendampingan oleh perawat senior yang berkunjung ke rumah, tetapi sang anak
diminta juga untuk dapat merawat luka ibunya sendiri. Mulai dari sterilisasi
pinset dengan merebusnya di air panas hingga strerilisasi kassa dari proses
memotong dengan ukuran tertentu-mengukus-mengeringkan namun sterilisasi tetap
terjaga kemudian mencampurinya dengan obat-obat anjuran dokter. Belum lagi
membantu ibu BAK dan BAB, semua dipelajarinya secara instan.
Menunggui orang sakit bukanlah
perkara sepele. Dibutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan ketegaran luar biasa di
dalamnya. Stamina yang fit juga mutlak diperlukan. Jangan sampai gara-gara
menunggui orang sakit, kita jadi ikut-ikutan sakit. Dan yang paling penting
adalah jangan sekali-kali terlihat lelah, sedih, jenuh atau mengeluh di hadapan
orang sakit. Tindakan itu berdampak besar bagi psikologis si pasien. Si pasien
akan down, merasa dirinya tidak
berguna karena selalu merepotkan orang lain, dan pasien akan kehilangan harapan
untuk sembuh. Pikiranmu adalah doamu.
Buatlah mereka semangat, percaya diri, dan berpengharapan untuk sembuh.
Hiburlah dan buatlah mereka bahagia. Jangan malah ‘sambat’!
Akhir kisah, tambahkan beberapa kata
dalam doamu. Jangan hanya berdoa memohon untuk kesembuhan si sakit, tetapi
mohonkanlah rahmat kesehatan, kekuatan, kesabaran, dan ketegaran bagi mereka
yang mendampingi si sakit. Percayalah, obat
yang mujarab itu adalah jangan sambat!
Bagaimana kondisi sang ibu saat ini?
Sudah pulihkah dia? Ya, kini sang ibu sudah terlepas dari segala rasa sakit
yang ia derita. Ia hanya mampu merasakan bahagia karena saya yakin sang ibu
sedang tersenyum melihat saya, bapak saya, dan kakak saya dari Surga J
-selamat hari orang sakit sedunia
(11 Februari 2015)-
Benedicta Anin P. L
Source: Humble Bundle Melbourne |
Comments
Thank God i have you, sister-in-law, dad, and mom :)